Sang pemimpin pelayan bagi umat (1)

Maka apakah kamu mengira bahwa sesungguhnya kami menciptakan kamu secara main-main saja?, dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada kami?. Maka Maha tinggi Allah Raja yang sebenarnya, tidak ada Tuhan selain Dia. Tuhan yang mempunyai Arsy yang mulia”

Q.S. Al Mukminun 115-116

Pesta demokrasi untuk bangsa Indonesia sudah semakin dekat, percaturan antar elite politik semakin terbuka, bagi partai yang mempunyai dana banyak, maka meraka akan memanfaatkan dananya untuk loby-loby. Dan partai-partai yang kecil berupaya untuk mencari terobosan baru dengan koalisi dan lain sebagainya.

Minggu-minggu ini banyak sekali tontonan yang di perlihatkan bagi para calon legislatif dan partai politik masing-masing, masa untuk berkampanye dimanfaatkan seefektif mungkin untuk meraih simpati. Pada dasarnya kampanye adalah salah satu sarana kegiatan pemilu yang fungsinya untuk menarik massa agar dilaksanakan dengan cara yang baik, tertib dan simpatik.

Berbeda

Tampaknya kampanye yang berlangsung pada pemilu tahun ini amatlah berbeda dengan tahun-tahun yang lalu, kalau ditahun yang lalu para peserta kampanye mengikuti kampanye dengan arogan, brutal, bringas, serta membuat kegaduhan dan pengrusakan sehingga rasa yang diperoleh dari model kampanye tersebut adalah ketakutan dan tidak ada jaminan keamanan bagi bangsa Indonesia, namun sekarang yang ada justru sebaliknya suasana kampanye tampak tidak begitu marak, sepi, konfoi yang rapi, serta berusaha memberi kesempatan masyarakat berekspresi, Para pakar politik banyak yang menilai adanya perbedaan suasana kampanye saat ini di mungkinkan dua hal yang pertama karena kesadaran dan pengetahuan yang terbangun pada masyarakat Indonesia akan pentingnya menentukan sang pemimpin sehingga tidak gampang harus merusak segala sarana yang ada demi mencari pemimpin yang betul-betul bisa menyalurkan aspirasi rakyat. Kedua atau bisa jadi karena masyarakat sudah bosan dan jenuh akan model percaturan perpolitikan yang ada sekarang ini, karena kebanyakan mereka-mereka yang telah menjanjikan untuk kepentingan rakyat ternyata pada ahirnya hanyalah janji-janji yang diobral semata, pada kenyataanya tetkala mereka sudah menjadi pemimpin, mereka hanyalah mementingkan perutnya sendiri-sendiri dan rakyat dijadikan sarana untuk menempatkan posisinya masing-masing

inilah kondisi perpolitikan yang terjadi di Negeri kita tercinta, banyak orang berebut dan berlomba ingin menjadi pimpinan yang sebetulnya jabatan adalah tidak lain sebagai amanah (tanggung jawab) yang nantinya semua pemimpin akan dimintai tanggung jawabnya disisi Al Kholiq Sang pencipta alam seisinya ini, rosulullah SAW bersabda “Setiap kamu adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggung jawaban atas apa yang dipimpinya”, H.R. Bukhori Muslim

Jabatan dan tanggung jawab

Bagi seseorang yang mengerti akan amanat kepemimpinan sebagaimana yang terjadi pada zaman dahulu (yang Allah katakatan sebagai generasi yang terbaik) tampuk kepemimpinan ibarat bara apa yang ada di telapak tangan, panas, menghanguskan yang nanti akan dimintai pertanggung jawaban, Pantaslah kiranya ketika kholifah Umar bin Abdul Aziz ketika ditunjuk menjadi pimpinan menggantikan kholifah Sulaiman langsung berkata “Inna Lillahi Wainna Ilaihi Rojiun”. Bagi Umar bin Abdul Aziz seorang kholifah bani Umayyah yang terkenal adil dan jujur itu, bahwasanya tahta dianggapnya sebagai musibah apa bila tidak bisa menjaga dan mengoptimalkan kerja dalam tanggung jawabnya dan berita buruk yang harus disambut dengan kalimat Istirja’ (ucapan menyambut kematian/kesusahan) karena beratnya tanggung jawab.

Imam Ibrahim bin Adham juga seorang tokoh sufi abad VIII, tetkalah melakukan perjalanan jauh, seorang pemuda bermaksud mengikutinya “Baiklah” jawab Ibrahim bin Adham “. Akan tetapi kita harus menentukan dulu siapa pemimpin dan siapa yang dipimpin”,’ Anda Yaa syekh yang patut menjadi pimpinan” jawab pemudah itu dengan merendahkan diri, “Sebagai seorang yang dipimpin engkau harus taat kepada pimpinan“, Ibrahim bin Adham berpesan dan pemuda itu menyetujui. Ditengah perjalanan mereka beristirahat, Ibrahim bin Adham segera memasang tenda untuk berteduh kemudian menyiapkan air minum dan makan, “Wahai syekh anda pemimpin, tinggallah disana biar saya yang melayani anda”, si pemuda berusaha menahan langkah Ibrahim ”Tidak seorang pemimpin punya kuwajiban untuk melayani orang yang dipimpinnya, Engkau harus patuh kepadaku sebagimana janjimu tadi”. Ibrohim memperingatkan, selesai istirahat beliau bersiap-siap meneruskan perjalanan, si pemuda minta tukar kedudukan “Biarlah saya yang menjadi pimpinan biar bisa melayani yang dipimpin”, pintanya “Baiklah” jawab Ibrahim, ketika beristirahat lagi, Ibrahim mendahului memasang tenda, mengambil air, dan menyalakan api untuk memasak. “Wahai syekh sayalah sekarang pemimpin maka saya yang patut melayani anda”, seru si pemuda, “Sebagai seorang yang dipimpin saya wajib memuliyakan orang yang memimpin dengan cara memberikan pelayanan yang prima”, tukas Ibrahim.

Ketika kita menjadi pemimpin mampukah kita seperti Ibrahim dengan berusaha segala upaya untuk memberikan pelayanan kepada yang dipimpinya? Dan sebaliknya ketika kita menjadi yang dipimpin sudahkah kita mendapatkan pelayanan dan penghormatan yang prima dari orang yang memimpin kita?, kondisi yang tidak sama dengan apa yang kita hadapi sekarang ini, dengan anggapan bahwa pemimpin adalah lembaga birokrasi yang semua ada pada kekuasaan dan harus dilayani dan dituruti kemaunya, barang siapa yang tidak menurut maka akan mendapatkan dampaknya, dan banyak orang memuliyakan pimpinanya jika mereka mendapat imbalan balik yang setimpal, terabaikan hak-haknya tertindas dan teraniaya hanya dibutuhkan suara dan dukungan semata, patutkah kita mendapat penghormatan dari mereka?

Ambisi jadi pemimpin

Akan tetapi zaman telah berubah Sunnah Rosulullah SAW telah lama disingkirkan dari derap kehidupan sehari-hari, kepemimpinan bukan lagi bernuansa kematian yang harus ditangisi malah mungkin semacam gula-gula yang menggiurkan dan ambisi menjadi pemimpin sudah tidak lagi ditutup-tutupi bahkan dibuka lebar-lebar siapapun orang boleh menyatakan ingin menjadi presiden, gubernur, wali kota, bupati, dan seterusnya pemimpin zaman sekarang diperoleh dari pencalonan bukan didesak, diseret serta dipaksa seperti zaman rosulullah SAW dan zaman umar binAbdul Aziz, sehingga tidak heran target pertama yang harus diupayakan ketika terpelih menjadi pemimpin adalah modal yang ia keluarkan selama pencalonan harus kembali terlebih dahulu dan tidak ada seorang yang terpilih (belum pernah kita dengar) mengucapkan kalimah Istirja’ (Inna lillahi wainna Ilaihi Rojiun), melainkan sorak kemenangan dan diikuti pesta pora dengan berdalih syukuran karena kepemimpinan sekarang adalah kenikmatan, anugrah, berkah dan prestasi gemilang bukan lagi musibah yang membebani soal mampu atau tidak mampu itu adalah urusan belakang., Toh tidak ada penilaian otentik mengenai hal itu.

Rosulullah SAW melarang memberikan tampuk kepemimpinan kepada orang yang menginginkanya, Artinya bukan melarang orang menjadi pemimpin bahkan dalam ajaran Islam keberadaan seorang pemimpin itu wajib adanya akan tetapi dimasa itu jika seseorang menampakan ambisinya ingin menjadi pemimpin harus dievaluasi terlebih dahulu kenapa ia menjadi ambisus? Mungkin setelah jadi pemimpin ia mengharapkan akan mendapatkan kekayaan dan fasilitas hidup, dihormati dan dengan menjadi pemimpin akan terbuka peluang untuk meningkatkan taraf hidup anak, istri, keluarga, dan mungkin keluarga dekat.

Pendapat Bahlul seorang tokoh tolol dan ediot didunia sufi barangkali dapat dipakai perbandingan “Bahlul, kabarnya kamu akan mencalonkan diri menjadi gubernur Khurosan?”, Tanya seseorang kepada Bahlul, “Betul sekali” jawab Bahlul kalem ”Lalu apa engkau punya keahlian?”, Bahlul menjawab, “Tidak, tetapi sering orang yang tidak mempunyai keahlian apa-apa terpilih menjadi pemimpin termasuk menjadi gubernur”, “Tujuanmu ingin menjadi gubernur apa?”, Tanya seseorang tersebut agak mendesak agar bahlul mau menjawabnya, “Jawaban saya untuk itu ada dua macam, jawaban hati dan jawaban mulut, mana yang kau inginkan?”, “Jawaban hati”, Bahlul lalu memaparkan jawabanya “Ingin gaji besar, fasilitas cukup dan ingin mendapat penghormatan dari banyak orang”, kalau jawaban Mulut ?”, “ ingin membela rakyat, memajukan daerah dan lainya yang tidak terbiasa terbukti”. “Jika berhasil menduduki jabatan gubernur engkau punya kuwajiban yang harus dipertanggung jawabkan lho? Jawab Bahlul “Tidak ada selama ini gubernur dimintai pertanggung jawaban kemudian dihukum karena tidak mampu menjalankan kuwajibanya. Enteng kerjanya tetapi mahal upahnya”.

Wallahu ‘Alam.




0 komentar: