Kesendirianku….! ( Al I'tishom 248 )

Bersegeralah melakukan tujuh amal sholeh sebagai antisipasi datangnya tujuh hal yang tak akan dapat dihindari 1.Tidakkah datangnya kefakiran mengantarkan kelupaan 2.atau datangnya kekayaan mengantarkan kedurhakaan. 3.atau datangnya sakit yang merusakan. 4.atau pikun yang melemahkan akal. 5.atau kematian yang mengagetkan. 6.atau datangnya Dajjal yang ditunggu-tunggu. 7.atau datangnya hari kiamat yang dahsyat H.R. At Tirmidzi


Rosulullah SAW pernah menggambarkan bahwasanya manusia didunia ini ibarat seseorang yang melakukan perjalanan nan jauh, ia harus melewati beberapa pos untuk singgah dan beristirahat serta menyiapkan bekal, lalu melanjutkan perjalanan kembali hingga sampai pada tujuan yang dikehendakinya. Apa yang di jerih payahkan manusia didunia berupa amal kebaikan adalah bagian dari bekal yang dipersiapkan yang nantinya ia bisa sampai tujuan yang diinginkanya dalam keadaan selamat. Amal kebaikan ini nantinya yang mengiringi manusia menghadap Tuhanya. Sedangkan sarana lain yang dimilikinya (baik keluarga dekat, anak dan istri serta fasilitas yang dimilikinya) akan ditinggalkanya tanpa kecuali. Allah SWT berfirman “Barang siapa yang mengerjakan amal sholeh baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan ber-iman maka sesungguhnya akan kami berikan kepadanya kehidupan yang baik. Q.S. An Nah ayat 97

Telah diceritakan bahwasanya Asy-Syaqiq Al Balkhi dalam mimpinya bertemu dengan salah satu muridnya yang sudah tiada, beliau bernama Imam Hatim Al Ashom, sang imam lalu bertanya pada muridnya “Wahai muridku (Hatim Al Ashom) kamu telah menimbah ilmu dariku cukup lama (kurang lebih tiga puluh tahun), bisahkah kamu menyimpulkan ilmu yang telah kamu pelajari dariku?, wahai guru, setelah aku belajar darimu segala ilmu, ada hal yang bisa aku simpulkan dan sangat berkaitan dengan kehidupanku kedepan”. Jawab Imam Hatim. Pertama aku mencintai ibu, bapak, istri, dan anak-anakku, demikian juga aku mencintai kerabat-kerabatku dan handai taulan, cintaku kepada mereka sama halnya kecintaan kepada diriku sendiri namun semuanya tidak bisa menemaniku diliang lahat tetkala aku menemui ajalku, aku tetap sendiri dan tidak ada seorangpun yang kucintai dan mencintaiku serta menemani di liang lahat kecuali amal sholeh yang aku miliki, hanya amal sholehku yang setia menemani kesendirianku, memberikan penerangan dalam kegelapan lahat, mengusir kesepianku dengan dendang surgawi dan kenikmatan bertemu Sang-Kholik seluruh alam ini yaitu Allah SWT, amal sholehku telah memberikan kehidupan baru yang lebih baik dari sebelumnya dan sangat terasa di liang lahat ini.

Amal sholeh inilah yang menjadi penghias seseorang dalam hidupnya, Ketenangan dan kedamaian akan senantiasa ia rasakan dalam dunia sebagai pancaran dari amal perbuatanya, sedangkan di aherat nanti amal sholeh sebagai penentu layak dan tidak diterimanya amal seseorang disisi Allah SWT. Ada beberapa hal yang harus diperhatikan seorang muslim agar amalnya menjadi amal yang sholeh (layak diterima Allah) diantaranya ada empat hal yang menjadi keriteria utama, dua hal sebagai (dasar/pondasi amal), sedangkan dua yang lainya sebagai penyempurna amal

1.Ikhas.

Ikhalasul amal adalah memurnikan setiap amal yang dilakukan pada satu arah yaitu menggapai ridlo Allah SWT, maka amal apa saja tidak akan menjadi sholeh disisi Allah jika sudah tidak murni lagi kearah-Nya dan biasanya yang mengganggu keikhasan seseorang dalam beramal sholeh adalah penyakit Hubbuddunya (kecintaan buta terhadap dunia). Penyakit inilah yang menyebabkan munculnya penyakit riya’ maka tetkala seseorang hendak melalulan sholat sedang disampinya ada seseorang yang dicintai atau dikagumi, maka sholatnya tidak murni karena Allah, ia berharap pujian dari orang yang dicintai tersebut dengan upaya melakukan gerakan sholat sehusyu’-husyu’nya., riya’ akan menghancurkan nilai amal sholeh seseorang. Demikian pula bagi seorang dai yang selalu berharap imbalan (amplop) sebagai motifasi utama dan berharap popularitas dalam berdakwah maka penyakit riya’ yang akan senantiasa mengganggu pikiranya serta menghancurkan keikhlasan dalam niat.

Telah diceritakan dalam suatu peristiwa, tetkala Sayyidina Ali RA berperang melawan seseorang yang menjadi musuh islam, dengan gagah berani dan rasa antusias yang tinggi beliau bisa mengalahkan musuh-musuhnya sampai pada ahirnya ketika musuh tersungkur ketanah, dan pedang sayyidina Ali RA menempel di lehernya, tiba-tiba musuh tersebut meludahi wajah beliau, mendapat perlakuan tersebut sayyidina Ali meninggalkan musuh yang tidak berdaya tersebut, rasa bengong dan kaget terpancar pada musuh yang sudah tidak berdaya tersebut, kenyataan dirinya tidak dibunuh oleh sayyidina Ali, sambil bertanya dengan penuh penasaran “Wahai Ali, kenapa kamu tidak jadi membunuhku, padahal kesempatan ada padamu?. Sayyidina Ali menjawab “Tadi aku berperang karena Allah SWT, tetapi karena engkau meludahiku aku menghentikan peperangan itu karena aku hawatir antara dendam dan amarah menjadi motivasi utamaku untuk membunuhmu yang akan merusak keikhlasanku dalam berperang”.

2. Ittiba’ As Syariat.

Yaitu menjadikan setiap amal manusia sekecil apapun amal tersebut harus terikat pada ketentuan syariat, sebab amal yang dilakukan dengan ikhlas karena Allah tetapi karena hal itu tidak disyariatkan maka amal itu tidak menjadi sholeh disisi-Nya, demikian pula berdo’a meskipun dilakukan dengan ikhlas sampai menangis dimalam hari namun do’anya tidak disyariatkan, maka do’anya tidak dikatakan sebagai hal yang sholeh.

Dari sini bisa disimpulkan bahwa kesholehan sebuah amal tidak hanya dilihat dari keikhlasan semata tetapi harus dilihat apakah amal tersebut diridlohi Allah SWT atau tidak, dan hanya orang yang bodoh saja (‘ajiz) yang selalu berharap pahala atas korupsinya, berharap ridlo Allah atas penindasan-penindasan pada orang-orang kecil, berharap ada kebaikan dari penipuan terhadap rakyat.

3. Istiqomah.

Konsisten dan lurus dalam beramal untuk menuju amal yang sholeh karena Allah SWT melihat amal seorang hamba tidak hanya karena banyaknya semata melainkan pada kualitasnya. Kualitas amal sholeh amat ditentukan dengan keistiqomahan, beramal tidak hanya pada waktu senang saja, tetapi beramal harus selalu kontinyu dan berkelanjutan sehingga amal sholeh tersebut berkualitas dihadapan Allah SWT , bacaan Al Qur’an secara rutin, berdzikir secara rutin sebagai modal dicintai Allah karena Allah mencintai seseorang yang beramal secara rutin dan kontinyu meskipun sedikit

4. Intifa’

Yaitu bermanfaat baik bagi dirinya sendiri terlebih lagi untuk orang lain, amal sholeh yang kita lakukan sayogyanya memiliki atau menghasilkan manfaat bagi lingkungan sekitarnya, inilah yang disebut dengan kesolehan sosial, rosululah SAW bersabda “ Man Asbaha laa yahtammu bil muslimin falaisa minhum-barang siapa yang bangun pagi-pagi dan ia tidak memiliki kepeduian pada problematika umat islam maka ia bukan golongan islam”,

Seseorang yang berdzikir terus menerus di masjid umpamanya, namun ia tidak peduli dengan musibah yang menimpa tetangganya ia hanya asyik untuk dirinya sendiri bermunajat dihadapan Allah, hakekatnya ia belum beramal sholeh, karena amalan (dzikir) yang ia lakukan tidak mampu menggerakan hatinya untuk peduli dengan saudaranya yang tertimpa musibah.


1. Sesungguhnya sebaik-baik manusia adalah seseorang yang paling banyak memberikan manfaat pada lingkunganya.

2. Sedangkan seorang muslim yang baik adalah yang selalu bisa menahan diri dari perbuatan-perbuatan yang tercela.” Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhanya dan mneahan diri dari keinginan hawa nafsunya” Q.S. An Naziat 40.

3. Banyaknya pengikut besarnya pangkat dan jabatan yang disandang bukanlah menjadi ukuran kemuliaan seseorang, karena kemuliaan seseorang hanya bisa diukur dari ketakwaanya dan ketakwaan seseorang akan selalu terwujud pada amal sholehnya. “Hai orang-orang yang beriman jauhilah kebanyakan dari perasangka, sesungguhnya sebagian perasangka adalah dosa dan janganlah sebahagian kamu menggunjing sebahagian yang lain , sukakah salah seorang diantara kamu memakan daging saudaranya yang telah mati?, maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya”.Q.S. Al Hujurot 13.

Itishom 248. Robiul awal

0 komentar: