Diantar Jalan Ihsan


Sesungguhnya Allah SWT mewajibkan untuk berbuat ihsan (terbaik dan terorganisir) atas segala sesuatu urusan, apabila kamu membunuh maka berbuat baiklah kamu dalam membunuh, apabila kamu memotong hewan maka berbuat baiklah kamu dalam memotong, dan hendaklah kamu pertajam pisau kamu. H.R.Muslim

Alkisah, dalam kitab Ar bain Nabawi karya Al Imam An Nawawi disebutkan bahwasanya telah datang Malaikat Jibril menemuhi Rosulullah SAW dengan menjelma manusia, yang pada waktu itu memberikan pelajaran kepada para sahabat,tentang sendi dan dasar islam ada tiga perkara yaitu islam, iman, dan ihsan

Allah tabaraka wa ta’ala telah berfirman, ”Bagi orang-orang yang berlaku ihsan,ada al-husna (pahala yang terbaik; surga) dan ziyadah (tambahannya; kenikmatan berjumpa dan melihat Allah).” (Q.S. Yunus: 26). Ayat ini memberikan makna kepada kita bahwa orang-orang yang berbuat ihsan dalam amalnya akan mendapatkan pahala yang terbaik sekaligus dengan tambahannya, sebagai suatu anugerah dari Allah ta’ala. Mayoritas ahli tafsir menyatakan bahwa yang dimaksud “al-husna” (pahala yang terbaik) adalah surga,sedang yang dimaksud “ziyadah” (tambahannya) adalah berjumpa dan melihat Allah swt.

Ihsan didalam beramal merupakan salah satu dari tiga rukun agama, yang hal ini pernah ditanyakan oleh malaikat Jibril kepada Nabi kita Muhammad saw. Dia mendatangi beliau dalam rupa seorang laki-laki yang berpakaian sangat putih dan berambut sangat hitam, tidak kelihatan padanya bekas-bekas perjalanan jauh,disaksikan sekian banyak sahabat. Dia bermaksud mengajarkan urusan agama kepada mereka.

Ihsan adalah suatu maqom yang agung disisi Alloh swt. Tidak mungkin membatasi ihsan dengan cara-cara dan metode-metode tertentu untuk meraihnya karena ihsan adalah hal yang (hanya) dapat dapahami dengan “dzauq” (daya rasa yang tinggi) beserta amal yang shidiq (benar-benar jujur), suluk (tingkah laku) yang istiqomah, hati yang jernih dan perilaku yang baik. Cukup untuk menggambarkannya bila kita mengarahkan pandangan kepada ungkapan Rasulullah saw, dalam surat-surat beliau yang dikirimkan kepada raja-raja dan pemimpin-pemimpin dunia dalam rangka menyeru mereka kepada Islam, “Aslim taslam (masuk Islamlah niscaya Anda selamat/sejahtera).” Ungkapan ini tampak berupa amar (seruan), namun hakikat maknanya adalah syarat sekaligus jawabnya, yakni “Intuslim taslam” (jika Anda memeluk Islam maka Anda selamat/sejahtera). Didalam ungkapan ini dengan demikian ada jaminan yang tegas dari Rasulullah saw, bahwa orang yang masuk Islam akan mendapatkan salam (kesejahteraan/kesentosaan) dan salamah (keselamatan) yang keduanya merupakan keinginan besar yang ingin dicapai semua orang. Hal ini sesuai makna yang dikandung oleh lima rukun Islam. Kandungan lima rukun Islan tampak sederhana, namun dibalik itu ia memiliki makna-makna yang agung, sebagai berikut,

I. Dua kalimat syahadat. Dua kalimat syahadat mengandung makna ikrar terhadap kerububiyahan Allah swt, didalam mentarbiyah manusia atas dua jenis tarbiyah.

1. Tarbiyah yang bersifat fisik dengan menumbuhkembangkan tubuh manusia hingga mencapai kedewasaan (tingkat maksimal) dan meningkatkan potensi kekuatannya baik dari segi pola jiwa maupun pola pikir.

2. Tarbiyah yang bersifat keagamaan dan tasyri’iyah melalui wahyu yang diturunkan-Nya kepada setiap individu umat manusia agar akalnya sempurna dan jiwanya bersih sehingga manusia dapat mempergunakan akal di dunia ini untuk memahami sisis-sisi dari dua tarbiyah itu. Dua jenis tarbiyah itu menjadi inti dari keberhakan Allah swt, atas pujian dan kespesialan-Nya untuk dipuji, bukan yang lain-Nya, seperti tergambar dari firman Allah swt, diawal surat al-Fatihah, “Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam.” (Q.S. al-Fatihah: 2). Ini adalah sumber kesejahteraan, keselamatan dan segala kebaikan yang ingin diraih manusia dari sisi kehidupannya yang bersifat materi maupun ruhiyah. Hal ini laksana pendahuluan dan persiapan menanamkan keimanan yang kokoh dalam jiwa dan menyiapkannya untuk mempraktikkan apapun syariat (hukum agama) yang telah ditetapkan oleh Allah swt, dengan penuh kerelaan, ketenangan, ketaatan, kepatuhan, ketundukan dan kerendahan.

II. Mendirikan shalat. Mendirikan shalat mengandung makna pentingnya menjalin hubungan dengan Allah swt, dengan selalu mengingat-Nya. Berhubungan dengan Allah swt adalah sumber keselamatan, kebahagiaan dan ketentraman jiwa. Allah swt berfirman, “Dan tegakkanlah shalat untuk mengingat-Ku.” (Q.S. Thaha: 14). “Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadah-ibadah yang lain).” (Q.S. al-Ankabuut: 45). “Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu)orang-orang yang khusyu’ dalam shalatnya.” (Q.S. al-Mu’minun: 1-2). “Orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tentram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tentram.” (Q.S. ar-Ra’d: 28). Hal itu tentunya dengan melaksanakan shalat sesuai dengan ketentuannya; dalam waktu-waktunya yang telah dimaklumi lengkap dengan rukun-rukunnya,syarat-syaratnya, adab-adabnya dan menghindari hal-hal yang membatalkannya serta memperhatikan konsentrasi hati dan kekhusyu’an.

III. Mengeluarkan zakat. Mengeluarkan zakat mengandung makna pentingnya hubungan manusia dengan sesamanya, berbuat baik kepada sesama, dengan jalan memberikan zakat, sebagaimana digambarkan oleh firman Allah swt. “Dan mereka mengeluarkan zakat.” Atau memberikan sedekan sunnah seperti tergambar dalam firman Allah swt. “Sesungguhnya sedekah-sedekah itu…” (Q.S. at-Taubah: 60). Sesungguhnya sedekah adakalanya wajib dan adakalanya sunnah. Atau bersedekah dengan kebaikan apa saja karena sedekan tidak mesti harus dengan harta benda saja. Berdasarkan hadits, “Setiap kebaikan adalah sedekah.” Sehingga Rasulullah saw. bersabda, “Menahan diri dari keburukan adalah sedekah.” Menahan diri dari keburukan dinamakan sedekah padahal ia adalah sedekah untuk pribadi orang yang bersedekah, bukan kepada orang lain.

Mengeluarkan zakat merupakan sumber keselamatan yang digambarkan secara tersirat dalam firman Allah swt, “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka.” (Q.S. at-Taubah: 103). Yakni, zakat dapat membersihkan diri orang yang kaya (borjuis) dari sifat pelit dan kikir dan membersihkan diri orang yang fakir (protelar) dari dendam kesumat dan hasud terhadap orang-orang kaya. Zakat juga dapat membuat harta kekayaan berkah dan tumbuh berkembang, menghilangkan perang antar kelas/strata dimasyarakat, ikut ambil bagian dalam pembiayaan negara, menyelesaikan sekian banyak kemaslahatan, meringankan beban anggaran negara, dan sebagainya. Atas dasar ini, khalifah Abu Bakar ash-Shiddiqra. Menyatakan kepada pihak yang enggan mengeluarkan zakat, “Demi Allah, sungguh aku akan memerangi orang-orang yang telah memisahkan antara shalat dengan zakat, karena zakat adalah kewajiban terhadap harta. “Demi Allah, seandainya mereka enggan mengeluarkan zakat kepadaku berupa seutas tali (atau seekor unta) yang dahulu biasa mereka keluarkan kepada Rasulullah saw. Niscaya aku akan memerangi mereka karena keengganannya itu.” Sahabat Umar bin Khattab ra. Memberikan komentar, “Demi Allah, tidak ada ini kecuali aku memandang bahwa Allah telah melapangkan dada Abu Bakar untuk berperang, maka aku menyadari bahwa hal itu (ungkapan Abu Bakar) adalah benar.”

III. Puasa Ramadhan. Puasa Ramadhan mengandung makna urgensitas imsak (menahan diri) dari hawa nafsu. Dan imsak (manahan diri) dari hawa nafsu merupakan sumber keselamatan dari kebingungan dan kegoncangan dalam kehidupan pada saat masyarakat secara terang-terangan tamak dan rakus serta bersaing/berebutan (secara tidak sehat) atas dunia dengan segala perhiasannya seperti kita saksikan sekarang ini. Karena itu, Rasulullah saw. Bersabda, “Ada empat perkara. Barang siapa menghimpun empat perkara itu dalam dirinya, maka Allah ta’ala mengharamkan dia masuk neraka dan menjaga dia dari setan, yaitu barang siapa dapat menahan dirinya 1) pada saat suka atau ingin (dan fasilitas ada), 2) pada saat takut/khawatir, 3) pada saat dia suka/ingin (tapi fasilitas tidak ada), dan 4) pada saat dia marah…”. Hadits ini diungkapkan oleh al-Hakim at-Tirmidzi dalam kitab Nawadirul Ushul hal. 362.

V. Hajji ke Baitullah. Hajji kebaitullah mengandung makna pentingnya kesatuan kalimat (visi) dan persatuan barisan umat Islam demi kokoh dan tegaknya persaudaraan yang didasarkan pada keimanan. Umat Islam jika mereka mampu untuk berkumpul disekitar rumah Allah yang agung dengan satu perasaan, karena adanya rumah Allah yang diberkahi itu, sebagaimana firman Allah swt. “Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk manusia adalah Baitullah yang di Bakkah (Makkah) yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi semua manusia.” (Q.S. Ali Imran: 96). Dan karena doa luhur Nabi Ibrahim as., “Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebahagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman didekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati, ya Tuhan kami (yang de4mikian itu) agar mereka mendirikan shalat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan beri rezekilah mereka dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur.” (Q.S. Ibrahim: 37). Maka mengapa umat Islam tidak/belum mampu berkumpul atas kalimat yang satu dibawah kepemimpinan satu imam yang diagungkan dan dihormati sebagaimana telah dijalankan oleh pendahulu-pendahulu mereka? Sampai kapan percekcokan, perpecahan,perselisihan,kehinaan,kerendahan dan “al-wahan” (kelemahan mental) karena adanya sekian banyak krisis internal terkait dengan keteladanan, kepemimpinan, tanggung jawab, kejujuran, wafa’ (memenuhi janji, balas jasa) dan ghirah?

Dari sini semestinya kita memulai amal dengan perenungan-perenungan selintas kilas tentang tema ini agar kita berjumpa (bertatap muka) sekaligus berkumpul, tidak sekadar berjumpa saja tanpa berkumpul, agar perenungan-perenungan itu mengantarkan kita kepada prinsip ihsan karena menyadari makna rukun-rukun Islam sebagai suatu mafahim, tidak hanya sekadar maklumat, dalam rangka memperhatikan urusan agama yang hanif ini, seraya berharap dapat bergabung bersama kelompok yang telah disifati Allah swt. dalam al-Quranul Karim, dengan firman-Nya, “Diantara orang-orang mu’min itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah; maka diantara mereka ada yang gugur. Dan diantara mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu dan mereka sedikit pun tidak merubah janjinya.” (Q.S. al-Ahzaab: 23). Semoga Allah swt. menjaga dan melindungi kita semua. Amiin.

0 komentar: