Berjuang Hingga Kaki menapak ke Surga

“Yaa Allah, Aku berlindung kepada-Mu dari keinginan yan berlebihan dan kesedihan. Aku berlindung kepada-Mu dari kelemahan dan kemalasan. Aku berlindung kepada-Mu dari rasa takut dan kikir. Aku berlindung kepada-Mu dari lilitan utang dan paksaan orang yang menganiaya.” ( H.R Bukhori ).


Kehidupan ini adalah sebuah perjuangan menuju kemenangan hakiki, kebahagiaan abadi di akhirat nanti. Dan setiap kita adalah pejuang, berjuang mengarungi hidup yang penuh liku-liku. Hidup yang tidak selalu lurus-lurus saja, yang tidak selalu sesuai dengan rencana dan harapan kita. Jika kita ingin menggapai kemenangan, maka tak ada pilihan lain, kita harus berjuang.Dalam perjuangan itu kita, kita bias saja mengalami kelelahan, kepenanan dan kebosanan. Semua adalah fitrah yan diberikan Allah SWT kepada manusia. Setiap orang pasti merasa sakit bila didzolimi, pasti merasa kecewa, resah maupun gundah saat menghadapi keadaan yang tidak sesuai dengan harapan. Setiap orang merasa khawatir dan takut terhadap bahaya yang mengancam.



Saat-saat lemah ini pernah menimpa siapa saja, tak terkecuali orang-orang besar sekalipun. Para sahabat juga pernah merasa sakit, kecewa dan tertekan terhadap orang kafir quraisy. Bahkan Rosulullah pernah mengadukan ketidak berdayaannya dan kelemahannya kepada Allah saat menghadapi kaum kafir dalam perang Badar. Allah takkan membebani seseorang di luar kemampuannya, karenanya Allah mengampunikeadaan-keadaan tersebut. Namun tingkat kelemahan, kelelahan, kesakitan, keresahan, kekecewaan adalah berbeda-beda bagi setiap orang. Menurut Imam Ghozali , cobaan yang sama beratnya akan berujung beda jika ditimpakan pada orang yang berlainan. Hanya keimanan yang membedakannya. Karena itu Rosulullah pun sering berdo’a :

“Yaa Allah, Aku berlindung kepada-Mu dari keinginan yan berlebihan dan kesedihan. Aku berlindung kepada-Mu dari kelemahan dan kemalasan. Aku berlindung kepada-Mu dari rasa takut dan kikir. Aku berlindung kepada-Mu dari lilitan utang dan paksaan orang yang menganiaya.” ( H.R Bukhori ).

Kelemahan adalah sifat yang melekat sebagai wujud ketidak sempurnaan manusia. Inilah sifat yang dimiliki oleh makhluk manapun juga. Namun seorang pejuang akan melawan kelemahan itu. Ia tahu bahwa dalam kondisi lemahpun ia tidak boleh melakukan yang di haramkan oleh Allah SWT. Seorang pejuang juga tahu persis bahwa kondisi lemah ini tak bole dibiarkan berlarut-larut. Karena jika terlalu lama dalam kelemahan akan sangat berbahaya. Awalnya akan muncul anggapan bahwa kita sebenarnya kita tidak bias lagi melakukan amal-amal seperti sebelumnya. Maka lahirlah pemikiran bahwa kita sebenarnya lemah, tak mempu memikul beban berat diluar kemampuan kita. Dan kita berbeda dengan orang lain yang mempunyai kepribadian dan kekuatan yang baik. Kita takkan bias seperti mereka.

Inilah yang disebut dengan Tawadlu’ Kadzib. Sikap tawaddu yang bohong. Kelemahan yang dibuat-buat ini akan membawa kita pada sikap pasif dan terperangkap dalam kondisi lemah. Sikap ini sebenarnya merupakan indikasi awal dari bersarangnya virus malas dalam diri kita. Bila tidak diobati, malas akan menarik orang dari kemuliaan, menjadikannya rela dengan sesuatu yang rendah., menyebabkannya lemah dan menghalanginya dari keberhasilan.

“ Jauhilah olehmu sikap kecenderungan kepada istirahatdan kelapanangan. Karena ujung sikap ini adalah tercela dan akhirnya akan sengat dibenci. Tinggalkanlah sikap malas dan senang sesuatu yang praktis. Karena hal itu adalah kebiasaan hewan”. ( Bashir Wa Dzakhoir ).
Karena itulah Rosulullah SAW berwasiat kepada Abdullah bin Ash, “ Wahai Abdullah, janganlah kamu seperti si fulan, sebelum ini ia rajin bangun malam untuk sholat, kemudian ia meninggalkannya sama sekali. “ ( H.R Bukhori ). Demikianlah seorang pejuang sejati tidak akan kalah oleh rasa malas. Kelelahan, keletihan adalah harga bagi surge yang diidamkan. Karenanya ia tidak akan berlama-lama dalam kelemahan agar penyakit malas tidak besarang dalam dirinya. Kekecewaan dan sakit hati memang sesuatu yang bias melemahkan kita. Namun rasa kecewa itu tak boleh membelenggu kita terlalu lama. Jangan tunggu hingga rasa malas dating menyerang dan menghancurkan semua yang telah kita pupuk dari kecil. Kebiasaan-kebiasaan baik yang sudah kita tanamkan, jangan sampai terkikis oleh rasa malas. Ingatlah saudaraku, kita baru boleh beristirahat jika kaki kita sudah menapak di surga.

Pejuang Sejati.
Perjuangan dimana-mana akan menuntut pengorbanan. Itulah sunah dalam perjuangan. Pejuang sejati tidak akan pernah berhenti. Apapun kondisi yang dihadapi, tak pernah surut dan terus berlari. Kelemahan yang selalu melekat pada diri setiap orang takkan pernah menjadi penghalang bagi seorang pejuang. Begitu banyak contoh yang bias kita lihat. Baik itu pejuang pembela Islam maupun para pembela tanah air kita tercinta ini. Berikut beberapa kisah perjuangan mereka ditengah kondisi yang tampak sulit bagi orang biasa :

1. Kelemahan fisik tak jadi penghalang
Bagaimana seorang Jendral Sudirman tetap memimpin perang gerilya walaupun tubuhnya tak lagi bias tegak berdiri. Di atas tandu beliau terus memberikan komando dan suntikan semangat bagi anak buahnya. Keluar masuk hutan dalam kondisi sakit parah.
Bagaimanapun kondisi fisik kita tak boleh jadi penghalang perjuangan. Sekali kita berazzam untuk menjual dunia ini demi surge yang dijanjikan, tak ada alasan lagi untuk surut kebelakang. Kelemahan fisik hanya sarana Allah untuk memberikan kelebihan lain pada diri seseorang. Menemukan kelebihan itu kemudian memanfaatkannya dijalan perjuangan adalah sebuah kecerdasan yang membutuhkan kesabaran dan keridloan.

2. Tetap tegar dalam kelemahan ekonomi
Berita kematian suaminya dia terima sesaat sebelum melahirkan putra bungsunya. Selanjutnya R. Soekirah, istri R. Otto Iskandar Dinata, harus berjuang menghidupi kedua belas anaknya di tengah kecamuk “ Bandung Lautan Api “. Mengungsi ke Tasikmalaya, berjualan kue ke sekolah-sekolah semua di jalani dengan penuh kesabaran dan ketabahan. Padahal R. Soekirah adalah anak bungsu dari seorang Priyayi, asisten wedana di Banjarnegara, yang tak pernah kekurangan ekonomi. Sungguh perjuangan yang tidak mudah. Mendampingi suami yang tak pernah berhenti berjuangan hingga maut menjemput. Lalu membesarkan kedua belas anaknya seorang diri. Tawaran bantuan dari pemerintah Belanda pun ditolaknya dengan tegas meski kondisinya saat itu sangat memprihatinkan.

Berkaca pada perjuangan orang-orang besar haruslah melecut semangat kita. Kita punya otak yang sama besarnya dengan punya mereka. Kita diciptakan dari tanah yang sama dengan mereka. Kitapun menghirup udara yang sama dengan mereka. Lalu, mengapa kita masih bias berkata, “ Ah, itu kan mereka. Saya tidak punya……Saya tidak bisa…..Saya kan Cuma……. “.
Wallahu A’lam

0 komentar: