Sang pemimpin pelayan bagi umat (1)

Maka apakah kamu mengira bahwa sesungguhnya kami menciptakan kamu secara main-main saja?, dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada kami?. Maka Maha tinggi Allah Raja yang sebenarnya, tidak ada Tuhan selain Dia. Tuhan yang mempunyai Arsy yang mulia”

Q.S. Al Mukminun 115-116

Pesta demokrasi untuk bangsa Indonesia sudah semakin dekat, percaturan antar elite politik semakin terbuka, bagi partai yang mempunyai dana banyak, maka meraka akan memanfaatkan dananya untuk loby-loby. Dan partai-partai yang kecil berupaya untuk mencari terobosan baru dengan koalisi dan lain sebagainya.

Minggu-minggu ini banyak sekali tontonan yang di perlihatkan bagi para calon legislatif dan partai politik masing-masing, masa untuk berkampanye dimanfaatkan seefektif mungkin untuk meraih simpati. Pada dasarnya kampanye adalah salah satu sarana kegiatan pemilu yang fungsinya untuk menarik massa agar dilaksanakan dengan cara yang baik, tertib dan simpatik.

Berbeda

Tampaknya kampanye yang berlangsung pada pemilu tahun ini amatlah berbeda dengan tahun-tahun yang lalu, kalau ditahun yang lalu para peserta kampanye mengikuti kampanye dengan arogan, brutal, bringas, serta membuat kegaduhan dan pengrusakan sehingga rasa yang diperoleh dari model kampanye tersebut adalah ketakutan dan tidak ada jaminan keamanan bagi bangsa Indonesia, namun sekarang yang ada justru sebaliknya suasana kampanye tampak tidak begitu marak, sepi, konfoi yang rapi, serta berusaha memberi kesempatan masyarakat berekspresi, Para pakar politik banyak yang menilai adanya perbedaan suasana kampanye saat ini di mungkinkan dua hal yang pertama karena kesadaran dan pengetahuan yang terbangun pada masyarakat Indonesia akan pentingnya menentukan sang pemimpin sehingga tidak gampang harus merusak segala sarana yang ada demi mencari pemimpin yang betul-betul bisa menyalurkan aspirasi rakyat. Kedua atau bisa jadi karena masyarakat sudah bosan dan jenuh akan model percaturan perpolitikan yang ada sekarang ini, karena kebanyakan mereka-mereka yang telah menjanjikan untuk kepentingan rakyat ternyata pada ahirnya hanyalah janji-janji yang diobral semata, pada kenyataanya tetkala mereka sudah menjadi pemimpin, mereka hanyalah mementingkan perutnya sendiri-sendiri dan rakyat dijadikan sarana untuk menempatkan posisinya masing-masing

inilah kondisi perpolitikan yang terjadi di Negeri kita tercinta, banyak orang berebut dan berlomba ingin menjadi pimpinan yang sebetulnya jabatan adalah tidak lain sebagai amanah (tanggung jawab) yang nantinya semua pemimpin akan dimintai tanggung jawabnya disisi Al Kholiq Sang pencipta alam seisinya ini, rosulullah SAW bersabda “Setiap kamu adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggung jawaban atas apa yang dipimpinya”, H.R. Bukhori Muslim

Jabatan dan tanggung jawab

Bagi seseorang yang mengerti akan amanat kepemimpinan sebagaimana yang terjadi pada zaman dahulu (yang Allah katakatan sebagai generasi yang terbaik) tampuk kepemimpinan ibarat bara apa yang ada di telapak tangan, panas, menghanguskan yang nanti akan dimintai pertanggung jawaban, Pantaslah kiranya ketika kholifah Umar bin Abdul Aziz ketika ditunjuk menjadi pimpinan menggantikan kholifah Sulaiman langsung berkata “Inna Lillahi Wainna Ilaihi Rojiun”. Bagi Umar bin Abdul Aziz seorang kholifah bani Umayyah yang terkenal adil dan jujur itu, bahwasanya tahta dianggapnya sebagai musibah apa bila tidak bisa menjaga dan mengoptimalkan kerja dalam tanggung jawabnya dan berita buruk yang harus disambut dengan kalimat Istirja’ (ucapan menyambut kematian/kesusahan) karena beratnya tanggung jawab.

Imam Ibrahim bin Adham juga seorang tokoh sufi abad VIII, tetkalah melakukan perjalanan jauh, seorang pemuda bermaksud mengikutinya “Baiklah” jawab Ibrahim bin Adham “. Akan tetapi kita harus menentukan dulu siapa pemimpin dan siapa yang dipimpin”,’ Anda Yaa syekh yang patut menjadi pimpinan” jawab pemudah itu dengan merendahkan diri, “Sebagai seorang yang dipimpin engkau harus taat kepada pimpinan“, Ibrahim bin Adham berpesan dan pemuda itu menyetujui. Ditengah perjalanan mereka beristirahat, Ibrahim bin Adham segera memasang tenda untuk berteduh kemudian menyiapkan air minum dan makan, “Wahai syekh anda pemimpin, tinggallah disana biar saya yang melayani anda”, si pemuda berusaha menahan langkah Ibrahim ”Tidak seorang pemimpin punya kuwajiban untuk melayani orang yang dipimpinnya, Engkau harus patuh kepadaku sebagimana janjimu tadi”. Ibrohim memperingatkan, selesai istirahat beliau bersiap-siap meneruskan perjalanan, si pemuda minta tukar kedudukan “Biarlah saya yang menjadi pimpinan biar bisa melayani yang dipimpin”, pintanya “Baiklah” jawab Ibrahim, ketika beristirahat lagi, Ibrahim mendahului memasang tenda, mengambil air, dan menyalakan api untuk memasak. “Wahai syekh sayalah sekarang pemimpin maka saya yang patut melayani anda”, seru si pemuda, “Sebagai seorang yang dipimpin saya wajib memuliyakan orang yang memimpin dengan cara memberikan pelayanan yang prima”, tukas Ibrahim.

Ketika kita menjadi pemimpin mampukah kita seperti Ibrahim dengan berusaha segala upaya untuk memberikan pelayanan kepada yang dipimpinya? Dan sebaliknya ketika kita menjadi yang dipimpin sudahkah kita mendapatkan pelayanan dan penghormatan yang prima dari orang yang memimpin kita?, kondisi yang tidak sama dengan apa yang kita hadapi sekarang ini, dengan anggapan bahwa pemimpin adalah lembaga birokrasi yang semua ada pada kekuasaan dan harus dilayani dan dituruti kemaunya, barang siapa yang tidak menurut maka akan mendapatkan dampaknya, dan banyak orang memuliyakan pimpinanya jika mereka mendapat imbalan balik yang setimpal, terabaikan hak-haknya tertindas dan teraniaya hanya dibutuhkan suara dan dukungan semata, patutkah kita mendapat penghormatan dari mereka?

Ambisi jadi pemimpin

Akan tetapi zaman telah berubah Sunnah Rosulullah SAW telah lama disingkirkan dari derap kehidupan sehari-hari, kepemimpinan bukan lagi bernuansa kematian yang harus ditangisi malah mungkin semacam gula-gula yang menggiurkan dan ambisi menjadi pemimpin sudah tidak lagi ditutup-tutupi bahkan dibuka lebar-lebar siapapun orang boleh menyatakan ingin menjadi presiden, gubernur, wali kota, bupati, dan seterusnya pemimpin zaman sekarang diperoleh dari pencalonan bukan didesak, diseret serta dipaksa seperti zaman rosulullah SAW dan zaman umar binAbdul Aziz, sehingga tidak heran target pertama yang harus diupayakan ketika terpelih menjadi pemimpin adalah modal yang ia keluarkan selama pencalonan harus kembali terlebih dahulu dan tidak ada seorang yang terpilih (belum pernah kita dengar) mengucapkan kalimah Istirja’ (Inna lillahi wainna Ilaihi Rojiun), melainkan sorak kemenangan dan diikuti pesta pora dengan berdalih syukuran karena kepemimpinan sekarang adalah kenikmatan, anugrah, berkah dan prestasi gemilang bukan lagi musibah yang membebani soal mampu atau tidak mampu itu adalah urusan belakang., Toh tidak ada penilaian otentik mengenai hal itu.

Rosulullah SAW melarang memberikan tampuk kepemimpinan kepada orang yang menginginkanya, Artinya bukan melarang orang menjadi pemimpin bahkan dalam ajaran Islam keberadaan seorang pemimpin itu wajib adanya akan tetapi dimasa itu jika seseorang menampakan ambisinya ingin menjadi pemimpin harus dievaluasi terlebih dahulu kenapa ia menjadi ambisus? Mungkin setelah jadi pemimpin ia mengharapkan akan mendapatkan kekayaan dan fasilitas hidup, dihormati dan dengan menjadi pemimpin akan terbuka peluang untuk meningkatkan taraf hidup anak, istri, keluarga, dan mungkin keluarga dekat.

Pendapat Bahlul seorang tokoh tolol dan ediot didunia sufi barangkali dapat dipakai perbandingan “Bahlul, kabarnya kamu akan mencalonkan diri menjadi gubernur Khurosan?”, Tanya seseorang kepada Bahlul, “Betul sekali” jawab Bahlul kalem ”Lalu apa engkau punya keahlian?”, Bahlul menjawab, “Tidak, tetapi sering orang yang tidak mempunyai keahlian apa-apa terpilih menjadi pemimpin termasuk menjadi gubernur”, “Tujuanmu ingin menjadi gubernur apa?”, Tanya seseorang tersebut agak mendesak agar bahlul mau menjawabnya, “Jawaban saya untuk itu ada dua macam, jawaban hati dan jawaban mulut, mana yang kau inginkan?”, “Jawaban hati”, Bahlul lalu memaparkan jawabanya “Ingin gaji besar, fasilitas cukup dan ingin mendapat penghormatan dari banyak orang”, kalau jawaban Mulut ?”, “ ingin membela rakyat, memajukan daerah dan lainya yang tidak terbiasa terbukti”. “Jika berhasil menduduki jabatan gubernur engkau punya kuwajiban yang harus dipertanggung jawabkan lho? Jawab Bahlul “Tidak ada selama ini gubernur dimintai pertanggung jawaban kemudian dihukum karena tidak mampu menjalankan kuwajibanya. Enteng kerjanya tetapi mahal upahnya”.

Wallahu ‘Alam.




Kesendirianku….! ( Al I'tishom 248 )

Bersegeralah melakukan tujuh amal sholeh sebagai antisipasi datangnya tujuh hal yang tak akan dapat dihindari 1.Tidakkah datangnya kefakiran mengantarkan kelupaan 2.atau datangnya kekayaan mengantarkan kedurhakaan. 3.atau datangnya sakit yang merusakan. 4.atau pikun yang melemahkan akal. 5.atau kematian yang mengagetkan. 6.atau datangnya Dajjal yang ditunggu-tunggu. 7.atau datangnya hari kiamat yang dahsyat H.R. At Tirmidzi


Rosulullah SAW pernah menggambarkan bahwasanya manusia didunia ini ibarat seseorang yang melakukan perjalanan nan jauh, ia harus melewati beberapa pos untuk singgah dan beristirahat serta menyiapkan bekal, lalu melanjutkan perjalanan kembali hingga sampai pada tujuan yang dikehendakinya. Apa yang di jerih payahkan manusia didunia berupa amal kebaikan adalah bagian dari bekal yang dipersiapkan yang nantinya ia bisa sampai tujuan yang diinginkanya dalam keadaan selamat. Amal kebaikan ini nantinya yang mengiringi manusia menghadap Tuhanya. Sedangkan sarana lain yang dimilikinya (baik keluarga dekat, anak dan istri serta fasilitas yang dimilikinya) akan ditinggalkanya tanpa kecuali. Allah SWT berfirman “Barang siapa yang mengerjakan amal sholeh baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan ber-iman maka sesungguhnya akan kami berikan kepadanya kehidupan yang baik. Q.S. An Nah ayat 97

Telah diceritakan bahwasanya Asy-Syaqiq Al Balkhi dalam mimpinya bertemu dengan salah satu muridnya yang sudah tiada, beliau bernama Imam Hatim Al Ashom, sang imam lalu bertanya pada muridnya “Wahai muridku (Hatim Al Ashom) kamu telah menimbah ilmu dariku cukup lama (kurang lebih tiga puluh tahun), bisahkah kamu menyimpulkan ilmu yang telah kamu pelajari dariku?, wahai guru, setelah aku belajar darimu segala ilmu, ada hal yang bisa aku simpulkan dan sangat berkaitan dengan kehidupanku kedepan”. Jawab Imam Hatim. Pertama aku mencintai ibu, bapak, istri, dan anak-anakku, demikian juga aku mencintai kerabat-kerabatku dan handai taulan, cintaku kepada mereka sama halnya kecintaan kepada diriku sendiri namun semuanya tidak bisa menemaniku diliang lahat tetkala aku menemui ajalku, aku tetap sendiri dan tidak ada seorangpun yang kucintai dan mencintaiku serta menemani di liang lahat kecuali amal sholeh yang aku miliki, hanya amal sholehku yang setia menemani kesendirianku, memberikan penerangan dalam kegelapan lahat, mengusir kesepianku dengan dendang surgawi dan kenikmatan bertemu Sang-Kholik seluruh alam ini yaitu Allah SWT, amal sholehku telah memberikan kehidupan baru yang lebih baik dari sebelumnya dan sangat terasa di liang lahat ini.

Amal sholeh inilah yang menjadi penghias seseorang dalam hidupnya, Ketenangan dan kedamaian akan senantiasa ia rasakan dalam dunia sebagai pancaran dari amal perbuatanya, sedangkan di aherat nanti amal sholeh sebagai penentu layak dan tidak diterimanya amal seseorang disisi Allah SWT. Ada beberapa hal yang harus diperhatikan seorang muslim agar amalnya menjadi amal yang sholeh (layak diterima Allah) diantaranya ada empat hal yang menjadi keriteria utama, dua hal sebagai (dasar/pondasi amal), sedangkan dua yang lainya sebagai penyempurna amal

1.Ikhas.

Ikhalasul amal adalah memurnikan setiap amal yang dilakukan pada satu arah yaitu menggapai ridlo Allah SWT, maka amal apa saja tidak akan menjadi sholeh disisi Allah jika sudah tidak murni lagi kearah-Nya dan biasanya yang mengganggu keikhasan seseorang dalam beramal sholeh adalah penyakit Hubbuddunya (kecintaan buta terhadap dunia). Penyakit inilah yang menyebabkan munculnya penyakit riya’ maka tetkala seseorang hendak melalulan sholat sedang disampinya ada seseorang yang dicintai atau dikagumi, maka sholatnya tidak murni karena Allah, ia berharap pujian dari orang yang dicintai tersebut dengan upaya melakukan gerakan sholat sehusyu’-husyu’nya., riya’ akan menghancurkan nilai amal sholeh seseorang. Demikian pula bagi seorang dai yang selalu berharap imbalan (amplop) sebagai motifasi utama dan berharap popularitas dalam berdakwah maka penyakit riya’ yang akan senantiasa mengganggu pikiranya serta menghancurkan keikhlasan dalam niat.

Telah diceritakan dalam suatu peristiwa, tetkala Sayyidina Ali RA berperang melawan seseorang yang menjadi musuh islam, dengan gagah berani dan rasa antusias yang tinggi beliau bisa mengalahkan musuh-musuhnya sampai pada ahirnya ketika musuh tersungkur ketanah, dan pedang sayyidina Ali RA menempel di lehernya, tiba-tiba musuh tersebut meludahi wajah beliau, mendapat perlakuan tersebut sayyidina Ali meninggalkan musuh yang tidak berdaya tersebut, rasa bengong dan kaget terpancar pada musuh yang sudah tidak berdaya tersebut, kenyataan dirinya tidak dibunuh oleh sayyidina Ali, sambil bertanya dengan penuh penasaran “Wahai Ali, kenapa kamu tidak jadi membunuhku, padahal kesempatan ada padamu?. Sayyidina Ali menjawab “Tadi aku berperang karena Allah SWT, tetapi karena engkau meludahiku aku menghentikan peperangan itu karena aku hawatir antara dendam dan amarah menjadi motivasi utamaku untuk membunuhmu yang akan merusak keikhlasanku dalam berperang”.

2. Ittiba’ As Syariat.

Yaitu menjadikan setiap amal manusia sekecil apapun amal tersebut harus terikat pada ketentuan syariat, sebab amal yang dilakukan dengan ikhlas karena Allah tetapi karena hal itu tidak disyariatkan maka amal itu tidak menjadi sholeh disisi-Nya, demikian pula berdo’a meskipun dilakukan dengan ikhlas sampai menangis dimalam hari namun do’anya tidak disyariatkan, maka do’anya tidak dikatakan sebagai hal yang sholeh.

Dari sini bisa disimpulkan bahwa kesholehan sebuah amal tidak hanya dilihat dari keikhlasan semata tetapi harus dilihat apakah amal tersebut diridlohi Allah SWT atau tidak, dan hanya orang yang bodoh saja (‘ajiz) yang selalu berharap pahala atas korupsinya, berharap ridlo Allah atas penindasan-penindasan pada orang-orang kecil, berharap ada kebaikan dari penipuan terhadap rakyat.

3. Istiqomah.

Konsisten dan lurus dalam beramal untuk menuju amal yang sholeh karena Allah SWT melihat amal seorang hamba tidak hanya karena banyaknya semata melainkan pada kualitasnya. Kualitas amal sholeh amat ditentukan dengan keistiqomahan, beramal tidak hanya pada waktu senang saja, tetapi beramal harus selalu kontinyu dan berkelanjutan sehingga amal sholeh tersebut berkualitas dihadapan Allah SWT , bacaan Al Qur’an secara rutin, berdzikir secara rutin sebagai modal dicintai Allah karena Allah mencintai seseorang yang beramal secara rutin dan kontinyu meskipun sedikit

4. Intifa’

Yaitu bermanfaat baik bagi dirinya sendiri terlebih lagi untuk orang lain, amal sholeh yang kita lakukan sayogyanya memiliki atau menghasilkan manfaat bagi lingkungan sekitarnya, inilah yang disebut dengan kesolehan sosial, rosululah SAW bersabda “ Man Asbaha laa yahtammu bil muslimin falaisa minhum-barang siapa yang bangun pagi-pagi dan ia tidak memiliki kepeduian pada problematika umat islam maka ia bukan golongan islam”,

Seseorang yang berdzikir terus menerus di masjid umpamanya, namun ia tidak peduli dengan musibah yang menimpa tetangganya ia hanya asyik untuk dirinya sendiri bermunajat dihadapan Allah, hakekatnya ia belum beramal sholeh, karena amalan (dzikir) yang ia lakukan tidak mampu menggerakan hatinya untuk peduli dengan saudaranya yang tertimpa musibah.


1. Sesungguhnya sebaik-baik manusia adalah seseorang yang paling banyak memberikan manfaat pada lingkunganya.

2. Sedangkan seorang muslim yang baik adalah yang selalu bisa menahan diri dari perbuatan-perbuatan yang tercela.” Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhanya dan mneahan diri dari keinginan hawa nafsunya” Q.S. An Naziat 40.

3. Banyaknya pengikut besarnya pangkat dan jabatan yang disandang bukanlah menjadi ukuran kemuliaan seseorang, karena kemuliaan seseorang hanya bisa diukur dari ketakwaanya dan ketakwaan seseorang akan selalu terwujud pada amal sholehnya. “Hai orang-orang yang beriman jauhilah kebanyakan dari perasangka, sesungguhnya sebagian perasangka adalah dosa dan janganlah sebahagian kamu menggunjing sebahagian yang lain , sukakah salah seorang diantara kamu memakan daging saudaranya yang telah mati?, maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya”.Q.S. Al Hujurot 13.

Itishom 248. Robiul awal

Resume Tausiyah 14 Maret 2009 - K.H M. Ihya Ulumidin

download handout lengkap - DOWNLOAD



Dua Mata Rantai Ittiba’ dan Ta’zhim

kepada Nabi shallallahu alaihi wasallam

Allah tabaaraka wata’aalaa berfirman:

Sesungguhnya Kami Mengutusmu sebagai saksi, pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan. Agar kalian beriman dengan Allah dan rasulNya sekaligus menguatkan dan memuliakannya dan juga kalian mensucikanNya di waktu pagi dan sore hari”QS al Fath:8-9.

Banyak sekali ayat dan hadits tentang kewajiban mengikuti Nabi shallallahu alaihi wasallam zhahir dan bathin. Ini karena memang Beliau diutus agar diikuti sebab wahyu yang diterimanya serta sifat-sifat sempurna yang ada dalam dirinya yang terkandung dalam firmanNya: “Sungguh dalam diri Rasulullah ada teladan baik bagi kalian” QS al ahzab:21. “Sesungguhnya engkau berada di atas pekerti yang agung”QS al Qalam:4 .dan sebab kesaksian para sahabat Beliau yang menyatakan bahwa: “Akhlak Rasulullah adalah Alqur’an”. Sementara ayat di atas memberikan petunjuk pada sisi lain terkait hak Rasulullah shallallahu alaihi wasallam atas umatnya yang berupa kewajiban mengagungkan Beliau shallallahu alaihi wasallam. Syekh Zainuddin al Malibari dalam nazham Syuabul Iman berkata: “Cintailah nabimu dan agungkanlah ia. Kikirlah dengan agamamu pada apa yang terlihat dosa ada pada dirimu” Imam al Bushiri dalam Burdahnya berkata: “Tinggalkanlah pengakuan Nashrani tentang Nabi mereka. Dan lakukan pujian untuknya (Nabi shallallahu alaihi wasallam) sesukamu!”

Terdapat perbedaan pendapat tentang kembalinya dhomirHu (nya) dalam firman Allah “Tuazziruuhu wa Tuwaqiruuhu. Ibnu Juzayy al Kalbi dalam tafsirnya (3/52) mengatakan: [Dhomir hu dalam Tuazziruuhu wa Tuwaqiruuhu kembali kepada Nabi shallallahu alaihi wasallam. Sedang hu dalam Tusabbihuuhu kembali kepada Allah. Dikatakan pula bahwa ketiganya kembali kepada Allah.Kata Tuazziruuhu juga ada yang membacanya Tuazzizuuhu, dengan dua Za’].

Syekh Abu Asyur dalam tafsirnya (At Tahriir wa at Tanwiir12/156) mengatakan: [Ibnu Abbas ra, dalam sebagian riwayat darinya berkata bahwa dhomir hu dalam Tuazziruuhu wa Tuwaqiruuhu kembali kepada rasulNya. Dan juga dimungkinkan kalimat (kalam) berhenti pada firman Allah Nadziiroo yang berarti Lam dalam firmanNya Li tu’minuu adalah Lam Amar, tidak lit ta'liil (agar) yang berarti sebagai permulaan jumlah (kalam/kalimat). Dengan demikian maknanya adalah, “Berimanlah kalian dengan Allah dan RasulNya!”]

Perintah mengagungkan dan memuliakan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam mencakup pada masa hidup dan setelah Beliau wafat. Adapun bagaimana memuliakan Beliau saat masih hidup maka bisa disaksikan lewat banyaknya hadits shahih tentang sikap-sikap para sahabat mulia selaku manusia yang paling mengerti bagaimana cara memuliakan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Sementara memuliakan Beliau pasca kewafatannya maka sangat terkait dengan kehidupan barzakh Beliau yang tidak seperti kehidupan kita ini, tetapi kehidupan istimewa yang sesuai dengan Beliau dan dengan dimensi alam di mana Beliau berada sebagai satu keitimewaan yang hanya dimiliki oleh para nabi alaihimussalaam, dan tidak dimiliki oleh manusia selain mereka seperti halnya mereka shalat di dalam kubur, jasad mereka tetap utuh, amal-amal umat ditampakkan kepada mereka dan lain-lain di mana hadits tentang topik ini banyak sekali. Andai manusia selain mereka memiliki sebagian keistimewaan seperti yang ada pada mereka (semacam Karomah) maka tidak lebih hanya sesuatu yang bernama al Ilhaaq an Nisbii (disamakan karena masih memiliki hubungan).

Abuya al Walid al Habib Muhammad bin Alawi al Maliki al Hasani dalam Mafahim Yajib an Tushahhah hal 266 menyebutkan: [Adapun di Barzakh maka jika seorang termasuk ahli iman maka sesungguhnya ia telah melewati masa ujian di mana tidak ada yang teguh di sana kecuali orang yang beruntung (ahlussa’adah). Kemudian sesudah itu ia terbebas dari Taklif dan menjadi ruh yang bersinar, suci, banyak berfikir, bebas berkelana dan mondar mandir dalam Malakut dan kerajaan Allah subhaanahu wata’aalaa. Tidak ada sedih tidak ada susah. Tiada lelah dan gelisah, karena tidak ada dunia, tiada pekarangan, tiada emas dan tiada perak sehingga tidak ada iri hati, kezaliman dan kedengkian.]

Kehidupan yang hakiki ini sama sekali tidak bertentangan dengan pernyataan tentang kematian mereka seperti dijelaskan dalam firman Allah, “dan Kami tidak menjadikan langgeng (siapapun) manusia sebelum kamu “QS al Anbiya’:34. “Sesungguhnya kamu mati dan sesunggunya mereka juga mati”QSAz Zumar:30,sebagai sesuatu yang bisa diindera dan bukan hal gaib yang tidak bisa digambarkan oleh akal manusia. Karena itulah Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Hidupku lebih baik bagi kalian; jika kalian berbuat hal baru maka ada bimbingan untuk kalian. Wafatku lebih baik bagi kalian; ditampakkan kepadaku amal-amal kalian. Apa yang kulihat baik maka aku memuji Allah karenanya dan apa yang kulihat jelek maka aku memohon ampunan kepada Allah untuk kalian”(HR al Bazzar. Abu Zar’ah al Iraqi berkata: S anadnya Jayyid. Al Haitsami berkata: Para perawinya (Rijaal) adalah perawi shahih.. Imam Suyuthi, al Qasthalani dan al Munawi mengatakan bahwa hadits ini shahih. Al Hafizh Ismail al Qadhi juga meriwayatkannya dalam Fadhlusshalatu alannabiyy shallallahu alaihi wasallam. Syekh al Albani berkata: Hadits ini Mursal yang Shahih.(Lihat Mafahim hal 275-276)

Berangkat dari pemahaman ini muncul sekian banyak hal yang dilakukan oleh kebanyakan umat demi mengagungkan Nabi shallallahu alaihi wasallam dan kiranya hal itu baik, seperti memperingati Maulid Nabi shallallahu alaihi wasallam, dan bukan Bid’ah. Ibnu Mas’ud ra berkata: “Apa yang dianggap baik oleh kaum muslimin maka itu baik di sisi Allah”(HR Ahmad Thabarani Bazzar dengan Sanad Hasan).{Mafhumul Bid’ah bainass’ah wad dhiiq. Muhamad Samir hal 26}. Sementara di sana ada sekelompok orang yang menuduh apa yang dilakukan oleh mayoritas umat tersebut sebagai perbuatan yang salah, dan akidah mereka telah tersesat. Kelompok ini berusaha membatasi dan mencegah umat dari berbuat baik. Mereka tidak melihat kebenaran kecuali sisi pandang mereka yang sempit dan fanatisme terhadap pendapat sebagai akibat kedangkalan wawasan dan ilmu agama mereka. Atau sebagai akibat mereka belajar tanpa guru yang pembimbing. Inilah masalah yang mengantarkan sebagian anak muda salah dalam menggali sebagian hukum, memusuhi setiap orang yang berbeda dan membodohkan pendapat setiap orang yang berlawanan hingga akhirnya mereka menuduhnya sesat dan menghukuminya telah keluar dari agama

.laa haula walaa quwwata illaa billaah al aliyyi al azhiim.

Taushiah Jogjakarta/Jakarta

Sabtu/Ahad 14/15 Maret 2009.

17/18 Rabiul Awwal 1430 H

Menumbuhkan rasa kebersamaan

“Sesungguhnya perumpamaan seorang mukmin yang mendapatkan suatu musibah itu laksanana besi yang telah dibakar ujungnya dengan api yang menyala-nyala, maka bagian luarnyapun ikut merasa panas”. H.R. Thobaroni Fil Kabir.

Prestise… kadang mengundang seseorang untuk berpisah, dan menjadi salah satu penyebab perpecahan, setelah dia mencalonkan jadi caleg, jadi lurah, jadi pimpinan perusahaan dan pemimpin yang lainya, dahulunya menjadi saudara dekat seakan itu semua telah terurai dengan salah satu tujuan, dan rasa-rasanya amat sulit untuk mengurai benang yang kusut dan mengembalikan kembali rasa persaudaraan yang utuh dan saling membagi kebahagiaan, Dalam membangun kebersamaan dan kesepahaman ide diantara kita umat Islam dibutuhkan upaya-upaya yang cukup, agar kebersamaan dan kesepahaman ini bisa terbentuk dan terus berlangsung, sehingga potensi diantara umat islam bisa optimal dan saling bersinergi, tidak saling mencekal dan saling menyalahkan, Allah SWT berfirman ”Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah saudara, karena itu maka damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertaqwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat. Q.S. Al Hujuroot ayat 10

Ada beberapa tips yang bisa membangun perasaan sehati sesama kita umat Islam, setidaknya ada sifat dasar manusia yang harus kita ketahui terlebih dahulu, sehingga kita bisa bergerak dan menentukan langkah untuk mewujudkan perasaan sehati tersebut, diantaranya.

1. Sifata dasar manusia adalah senang diperhatikan

sering kali diantara kita melakukan aktifitas agar diperhatikan orang lain padahal orang lain belum tentu menaruh simpati kepada kita, mereka lebih senang menaruh perhatian pada dirinya sendiri saja, disaat kita bercerita tentang diri kita kebanyakan orang akan menanggapinya dengan kurang serius sambil berkata, …..Oh ya saya pun demikian, begini dan begitu dst.
Mereka tidak berusaha mendengar uraian kita sampai selesai tetapi lebih menunjukan bahwa dirinya pun demikian bahkan lebih hebat lagi dari kita, maka dari itu sikap seorang muslim yang baik hendaknya selalu memperhatikan dan mendengarkan ucapan orang lain dan berusaha menghargai orang lain agar terwujud kesatuan hati dan pandai-pandailah menjaga ucapan serta sikap agar tidak menyinggung harga diri orang lain

Indikasi lain yang dicontohkan oleh Rosulullah SAW untuk berusaha memperhatikan orang lain adalah sikap Tafaqqud (meneliti dan mencari berita) dari kawanya, lebih-lebih pemimpin mencari berita atas keberadaan rakyatnya, Rosulullah senantiasa meng aplikasikan sikap ini kepada para sahabatnya , semisal jika salah seorang sahabat tidak datang dalam sholat jamaah, beliau mencari berita, bagaiman keadaanya, apakah dia sakit atau ada alasan yang lainya, (Lihat As Syifa’ juz I karya Imam Qodli Iyadl hal 159.
Diantara yang dicontohkan oleh Rosulullah SAW lagi adalah beliau selalu menghadap para jamaahnya setelah selesai sholat berjamaah, dengan demikian mereka merasa diperhatikan dan sangat-sangat dihargai oleh Rosullah SAW.

2. sifat manusia adalah lebih senang terhadap yang ramah tidak menakutkan.

Raut muka yang meng Enakan jika dipandang dan senyum simpul selalu menjadi dambaan setiap pelaku kebaikan, tidak heran jika Rosulullah SAW jauh-jauh sudah bersabda “sesungguhnya Allah mengasihi orang-orang yang mudah dalam pergaulan dan bermuka manis”. Akhlak demikian ini yang sering dipraktekan Rosulullah SAW kepada para sahabat.
Telah diceritakan, ada seorang pembantu (budak) yang kala itu telah berbuat kesalahan pada majikanya, ia telah memecahkan cangkir, sehingga membikin malu majikanya dihadapan para tamu pembesarnya, dengan rasa bersalah dan takut dimarahi, pembantu ini minta maaf sambil membaca surat Al Imron ayat 134 Wal Kadzimina Al Ghoidlo(Allah SWT cinta pada orang-orang yang menahan amarah dan pemaaf), ahirnya mejikan itu tidak jadi marah karena dingatkan dengan bacaan surat Al Imron, dan sampai pada ahirnya budak itu dimerdekakanya karena majikan ini ingin menjadi kekasih Allah SWT dengan upaya berbuat ramah dan memberikan kemudahan pada orang lain lebih-lebih pada pembantunya sendiri.

3. Sifat dasar manusia adalah senang berbicara.

Suatu hal yang patut juga kita ketahui dalam membangun persahabatan adalah setiap.orang senang sekali berbicara, mengeluarkan semua isi hatinya, jarang sekali orang menanyakan sesuatu tentang kebaikan orang lain. Tetapi sebaliknya kebanyakan orang ingin ditanyai tentang kebaikan pada dirinya, pandangan, dan pendapatnya serta pangalaman yang pernah dilakukanya, bukankah kita senang kalau ada orang yang mendengarkan pembicaraan kita? Oleh karena itu dengarkanlah dengan penuh minat saat orang lain berbicara dan janganlah tergesa-gesa memikirkan apa yang hendak kita bicarakan sebelum orang lain selesai berbicara.

4. Sifat dasar manusia adalah senang dikagumi dan dihargai

Dalam sebuah riwayat dijelaskan, ketika rosulullah SAW sedang duduk dengan para sahabat, tiba-tiba datanglah Tolhah bin Ubaidillah, maka bersabda Rosulllah SAW “Barang siapa ingin melihat pahlawan syahid tetapi masih berjalan dimuka bumi maka sebaiknya ia melihat Tolhah bin Ubaidillah”. Merasa dapat sanjungan dan kepercayaan serta penghargaan sedemikian besarnya hingga ia merasa senang untuk berbuat baik dan senantiasa ingin dekat dengan Rosululah SAW.

5. Sifat dasar manusia adalah merasa dirinya baik

Rasa egoisme inilah yang acap kali kita temukan, hingga tidak jarang seseorang lebih senang membela dirinya sendiri dan beribu alasan yang dikemukakan jika ia telah mendapat teguran dari orang lain

6. Sifat dasar seseorang adalah mereka ingin dianggap penting.

Bahwa didalam diri manusia ada suatu keingnan yang sangat kuat yaitu ingin dianggap penting keberadaanya, Dalam sejarah disebutkan, tetkala Kholid bin walid mendapat gelar dari Rosulullah SAW dengan gelar Saifullah, maka ia dengan semangat dan menunjukan dirinya sebagai orang yang pemberani yang tak pernah terkalahkan dalam setiap pertempuran, semangatnya tidak pernah luntur kendati pada masa kekhalifahan Umar bin Khottob dipecat sebagai paglima perang yang membuat semangatnya begitu besar karena ia merasa dianggap penting oleh Rosulullah dengan julukan yang diberikanya dan berusaha menunjukan kebaikan demi eksistensi gelar tersebut sebagai pemicu dalam semangatnya dan ia selalu terlibat dalam permasalahan agama

7. Sifat dasar manusia adalah tidak senang diperintah dan didekte

Secara naluri setiap kita sangat menaruh perhatian pada orang yang diinginkan, begitu pula dengan yang lainya, sehingga tidak mudah bagi kita untuk memerintah orang lain agar senang diperintah, namun ada suatu teladan yang sangat baik dan efektif sebagaiman yang dicontohkan Rosulullah SAW disaat beliau menyuruh para sahabat untuk bergerak ke baris depan untuk berjihad di jalan Allah dimana beliau selalu memulai perkataan dengan “Wahai kaum mukminin saya telah mencium bau surga, maka barang siapa yang ingin masuk surga maka majulah kemedan peperangan.” Ucapan itulah yang memotifasi para sahabat untuk bergegas memenuhi panggilan Allah untuk berjihad dijalan-Nya, kata kuncinya adalah Rosulullah SAW selalu membangkitkan semangat para sahabat dengan tidak secara terang menyuruh mereka.

-----------------itishom edisi 247 Robiul Awal 1430H-------------------------------------------

Pembaharuan Blog Islamic alawiyah

Semenjak kemaren ganti tampilan pake templates oceean dancer rasanya krg begitu enak dipandang, akhirnya di putuskan untuk diganti kembali ( atas penggantian tersebut kami mohon maaf sehingga sedikit mengurangi minat pengunjung )
Tampilan kali ini lebih sederhana dan yang di utamakan adalah isi dari blog ini. dan tidak juga di bantah tampilan juga mesti mendukung demi kenyamanan pembaca sekalian.
Selain tampilan yang ganti juga isi materi dari blog al-i'tishom kami jadikan satu dengan islamic alawiyah, alasan kami adalah agar lebih mudah di cari, ( dari pada banyak2 halaman ) dan untuk media kami tetap memisahkan halaman tersendri ( berisi file audio & video ).


Semoga kami bisa lebih istiqomah dalam mengelola blog kami yang sederhana ini. Amin

Feedback (kritik dan saran ) dari pembaca sekalian sangat kami harapkan.
Jazakallah..